Suapan ini berakhir pada urutan kelima. Pak Mat membuang mukanya saat sendok keenam kusodorkan kepadanya. "Sudah, Pak. Aku tak sanggup lagi". Aku mengalah. Kuturunkan sendok kembali ke piring. Bubur nasi hangat itu mendingin dan membenamkan sendok ke dalamnya.
"Matahari tak pernah terbit lagi, kan, Pak Han?", tanya Pak Mat. Doktor Mat, tepatnya. Aku tersenyum. Kugeser posisi dudukku di samping ranjang Pak Mat. Suasana ruang VVIP rumah sakit ini begitu sunyi, hanya ada aku dan Pak Mat. Sunyi yang memilukan.
"Tidak, Pak. Matahari masih setia terbit", kataku pelan. Pak Mat menggeleng. "Aku berharap tidak begitu, Pak Han. Biar kegelapan menenggelamkanku dan seluruh dunia".
Mendadak tubuh Pak Mat berguncang-guncang. Ia menangis. Kubiarkan ia melampiaskan emosinya. Selang infus di tangannya ikut menari pilu. "Bahkan istri dan anakku pun tak sudi menerima aibku...", keluh Pak Mat di sela-sela lelehan air matanya. Wajah lelaki lima puluhan tahun ini begitu sedih. "Hitam sudah nama baikku".
Aku merasa kikuk. Mendampingi seorang lelaki menangis bukanlah perkara gampang. Apatah lagi mendengarnya membuka aibnya sendiri. "Jangan begitu, Pak. Tak semua orang yang pernah melakukan keburukan berakhir kelam. Selalu ada jalan keluar. Karena di balik hitam kau akan menemukan terang. Yakinlah, Tuhan itu Maha Penerima Taubat".
Mendengarku berkata begitu, Pak Mat makin tersungkur dalam derai air mata. Jiwanya merapuh laksana kaca yang terserpih. Tercebur dalam danau kelam di tepian kota tempat tubuhnya yang belum mati ditemukan orang tiga malam yang lalu yang membuat keesokan harinya koran setempat memberitakan besar-besaran "Kandidat Guru Besar Melakukan Percobaan Bunuh Diri Akibat Tuduhan Plagiarisme".
-Selesai-
Prompt #58: Darkness
251 kata
Gambar dipinjam dari devianart