"Haruskah malam ini, Nawang?"
Jari lentik Nawang menarik ritsliting koper merah marunnya yang terisi padat.
"Haruskah, Nawang?", sekali lagi Joko bertanya.
"Aku harus kembali ke sana, Mas. Di sana aku bisa banyak berbuat, tak seperti di sini."
Joko menatap Nawang dengan sedih.
"Mengertilah, Mas. Demi kita bertiga." Joko meraih tangan Nawang perlahan. "Berjanjilah kau akan kembali lagi." "Bukankah aku sudah kembali lagi, Mas? Aku selalu menepati janjiku untuk kembali kepadamu seperti delapan dan tiga setengah tahun yang lalu." "Ya, tapi kau belum pernah menepati janjimu untuk tak pergi lagi." "Apa boleh buat, Mas. Dua tahun lagi Sita sudah harus masuk SMP. Aku khawatir kita tak bisa membiayainya." "Tapi sekarang sudah ada toko kecil kita ini. Kau tak harus pergi." Nawang tersenyum. "Justru itu, Mas. Mas di sini menjalankan toko kita, aku mencari tambahan di Hong Kong." Joko kehilangan kata-kata. Wibawanya sebagai suami telah runtuh di hadapan dollar.