hari hari fiksi

Sekian % Fiksi

Diberdayakan oleh Blogger.

Apa boleh buat. Bukan seleraku. Tapi perut ini keroncongan minta diisi. Baiklah, sepotong sosis, kentang goreng dan susu semoga bisa menghentikannya.


Sendirian kukunyah kentang goreng tak berbumbu ini. Lumayan. Seorang perempuan paruh baya pun sedang sendirian di bangku itu menikmati sarapannya. Tampaknya sandwich. Entah sandwich apa, tuna dengan keju biru mungkin. Atau sandwich telur dengan keju lembaran. Hmmm...sedaaap.

Bunga-bunga tulip mekar di belakang wanita itu. Sungguh pemandangan yang indah. Ini musim apa? Ah, tentu saja musim panas. Udaranya hangat seperti di Indonesia. Mungkin.

Kukunyah potongan sosis terakhirku. Susu kotak rasa coklat ini pun habis kusedot. Alhamdulillaah, kenyang. Aku pun berdiri. Kutinggalkan wanita paruh baya tadi yang kini berbincang berdua dengan seorang pemuda dalam Bahasa Inggris. Klik.

#

Pagi hari pukul lima. Boma kecilku menangis kencang di depan kulkas.
"Mamaaa...", panggilnya.
Aku bergegas datang.
"Ada apa, sayang?"
Boma menunjuk isi kulkas. Masih sambil menangis.
"Sosis dan susu kotakku menghilang".
Aku terpana.
"Siapa yang ambil?", tanyanya dengan nada kecewa.
Aku menelan ludah. Lalu kupeluk Boma kecilku yang berumur lima tahun itu.
"Nanti Mama belikan lagi. Maaf ya, sayang. Mama yang makan sosismu dan menghabiskan susumu. Semalam Mama kelaparan, jadi Mama makan sosismu dan minum susumu sambil nonton tv".
Tangis Boma makin kencang.

-Selesai-

Hujan! Aku harus pulang. Tapi...jemuran! Oh, tidak, tidak. Harus segera kuangkat! Hap, hap, hap.

Setengah berlari kupaksa tumpukan pakaian ini menerobos pintu rumah. Cepat, cepat! Masih ada lagi yang lain! Cepat, angkat semua lalu pulang.

Hujan menderas. Tak ada celah untuk menghindari tetesannya. Berarti tak ada kesempatan untuk pulang. Padahal Ibu menunggu di rumah. Ibu. Semoga aku selamat tiba di rumah.

Suara televisi terdengar. Film anak-anak. Suara tawa penontonnya menggelegar mengalahkan suara hujan. Oh, iya. Aku lupa. Bocor. Belum kusiapkan ember di bawahnya. Di dekat kompor, dua titik di gudang, dan masih ada lagi yang lain. Cepat, cepat! Sebelum air membanjir. Satu ember, dua ember, satu panci. Semoga cukup.

Aku kembali ke kamar. Berselancar di dunia maya. Tapi...oh, tidak! Penutup lubang pembuangan kamar mandi belum kubuka! Air dari talang yang dibuang ke kamar mandi bisa memenuhi ruangan lalu meluber ke mana-mana. Cepat, cepat!

Dua bocah mungil masih sibuk menonton televisi. Mereka belum bisa membantuku. Tak apa. Setidaknya tadi salah satu dari mereka memberi tahuku hujan turun.

Ke kamar lagi. Semoga sudah semua diamankan. Hujan masih deras. Berangin. Ah, Ibu, aku harus segera pulang. Kuyakin Ibu sedang menungguku. Menantiku dengan handuk dan air hangat untuk mandi. Lalu segelas teh hangat pun hadir menambah kehangatan. Kehangatan kasih Ibu.

Suara tangis bocah pecah di ruang tengah. Salah satu bocah kecil itu rupanya merasa dizolimi saudaranya. Tangisnya menuju ke arahku.
"Ibuuuuu..."
Aku kaget.
"Ya, Dek. Kenapa?"
Kupeluk tubuhnya.
"Kakak nakal", adunya.
Kuusap pipinya yang basah.
"Nakalnya gimana?", tanyaku.
Si bocah kecil ini pun menumpahkan ceritanya kepadaku. Aku pun menengahi mereka berdua. Sudah tugasku. Sudah takdirku.

Hujan masih turun. Ibu, meski aku sudah berkeluarga, namun hujan selalu mengingatkanku akan dirimu. Aku seakan harus pulang ke pangkuanmu. Rumahku adalah dirimu.

Ibu, kini akulah yang akan menjadi tujuan pulang bagi dua bocah kecil ini kala hujan turun.

-Selesai-



Newer Posts

LET’S BE FRIENDS

Labels

10% fiksi 100% fiksi 25% fiksi 50% fiksi 75% fiksi 90% fiksi FFRabu

recent posts

Blog Archive

  • Mei (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • Agustus (2)
  • Juli (1)
  • Mei (4)
  • April (1)
  • Januari (2)
  • Desember (4)
  • November (1)
  • Oktober (1)
  • September (1)
  • Agustus (2)
  • Juli (2)
  • Juni (3)
  • Mei (2)

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates