hari hari fiksi

Sekian % Fiksi

Diberdayakan oleh Blogger.

Suapan ini berakhir pada urutan kelima. Pak Mat membuang mukanya saat sendok keenam kusodorkan kepadanya. "Sudah, Pak. Aku tak sanggup lagi". Aku mengalah. Kuturunkan sendok kembali ke piring. Bubur nasi hangat itu mendingin dan membenamkan sendok ke dalamnya.

"Matahari tak pernah terbit lagi, kan, Pak Han?", tanya Pak Mat. Doktor Mat, tepatnya. Aku tersenyum. Kugeser posisi dudukku di samping ranjang Pak Mat. Suasana ruang VVIP rumah sakit ini begitu sunyi, hanya ada aku dan Pak Mat. Sunyi yang memilukan.

"Tidak, Pak. Matahari masih setia terbit", kataku pelan. Pak Mat menggeleng. "Aku berharap tidak begitu, Pak Han. Biar kegelapan menenggelamkanku dan seluruh dunia".

Mendadak tubuh Pak Mat berguncang-guncang. Ia menangis. Kubiarkan ia melampiaskan emosinya. Selang infus di tangannya ikut menari pilu. "Bahkan istri dan anakku pun tak sudi menerima aibku...", keluh Pak Mat di sela-sela lelehan air matanya. Wajah lelaki lima puluhan tahun ini begitu sedih. "Hitam sudah nama baikku".

Aku merasa kikuk. Mendampingi seorang lelaki menangis bukanlah perkara gampang. Apatah lagi mendengarnya membuka aibnya sendiri. "Jangan begitu, Pak. Tak semua orang yang pernah melakukan keburukan berakhir kelam. Selalu ada jalan keluar. Karena di balik hitam kau akan menemukan terang. Yakinlah, Tuhan itu Maha Penerima Taubat".

Mendengarku berkata begitu, Pak Mat makin tersungkur dalam derai air mata. Jiwanya merapuh laksana kaca yang terserpih. Tercebur dalam danau kelam di tepian kota tempat tubuhnya yang belum mati ditemukan orang tiga malam yang lalu yang membuat keesokan harinya koran setempat memberitakan besar-besaran "Kandidat Guru Besar Melakukan Percobaan Bunuh Diri Akibat Tuduhan Plagiarisme".

-Selesai-

Prompt #58: Darkness
251 kata

Gambar dipinjam dari devianart

Masjid Al-Fattah sore itu sepi. Hanya ada dua gadis duduk di terasnya.

"Nah. Ini naskahnya", Dwi mengulurkan lembaran kertas berisi naskah ceramah kepada Tari. "Tidak banyak, kan, Mbak?", kata Tari memelas. "Cuma dua halaman kok, Dik", jawab Dwi. "Tapi belum termasuk kutipan ayat Al-Qurannya, lho", lanjut Dwi. "Haaah...", keluh Tari. Dwi, mahasiswi semester tiga Universitas Islam Negeri itu tertawa melihat ekspresi Tari. "Sudah. Coba kamu baca dulu naskahnya. Itu sudah kuhitung. Kira-kira jadi sepanjang lima menit", kata Dwi menjelaskan.

Pekan depan Tari akan mengikuti Lomba Dai Cilik dalam Festival Anak Sholeh tingkat kecamatan. Lomba Dai Cilik itu sendiri terbagi dalam tiga kategori, yaitu dalam bahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Tari akan bertanding dalam kategori bahasa Inggris. Ini pertama kalinya Tari ikut. Rasa grogi mendera gadis berumur sebelas tahun itu. Berbicara di depan umum memang bukan hal asing baginya, tapi bicara dalam bahasa Inggris? Dalam kontes Dai Cilik pula! Sungguh suatu hal baru!

Tari membaca keras-keras naskah yang dibuat Dwi dengan seksama. Tema lomba kali ini adalah 'Anti Narkoba'. "Bagaimana, Mbak? Bagus?", tanya Tari usai membaca naskah ceramah. Dwi mengacungkan jempolnya. "Sip! Bahasa Inggrismu bagus! Tidak ada kesulitan, kan?". Tari menggeleng. "Ulang lagi sampai hafal ya, Dik". Tari dan Dwi pun berlatih sepanjang sore itu.

"Tinggal kutipan ayatnya yang dalam Bahasa Arab, Dik". Tari mengangguk. "Buka Al-Quran, ya, Mbak. Di naskah tidak diketik Bahasa Arabnya, cuma terjemahannya dalam Bahasa Inggris". "Iya, Dik. Ini, coba dilihat di sini", kata Dwi sambil memberikan Quran Syaamil kepada Tari. "Al-Maidah ayat 190. Tentang larangan khamr", kata Dwi.

Tari menerima Al-Quran itu dengan tangan kanannya. Dibukanya Al-Quran milik Dwi. "Waaah... Subhanallaah. Al-Qurannya cantik sekali, Mbak!", seru Tari takjub. Dwi tersenyum. "Kalau nanti kamu menang, aku belikan yang seperti ini. Mau?", tanya Dwi. "Mau, mau, Mbak!", Tari berseru senang. Dibalik-baliknya Al-Quran bersampul cantik itu. Ada renda-renda dan hiasan bebatuan handmade di sampulnya.

"Sekarang kita hafalkan kutipan ayatnya, yuk", ajak Dwi. "O you who have believed, indeed, intoxicants, gambling,sacrificing on [stone alters] to other than Allah, and divining arrows are but defilement from the work of Satan, so avoid it that you may be successful", Dwi membaca terjemahannya dalam Bahasa Inggris. Tari membuka-buka lembar-lembar Al-Quran. Dicarinya surat Al-Maidah, surat kelima.

"Lho, Mbak...?", Tari keheranan. "Apa betul ayat yang dikutip itu dari surat Al-Maidah?". Dwi mengangguk. "Iya. Kenapa?". Tari mengangkat Al-Quran yang dibawanya ke hadapan Dwi. Ditunjuknya ayat terakhir dari surat Al-Maidah. "Lha ini cuma sampai ayat 120", kata Tari pelan. "Haaah?". Dwi berseru kaget. Diambilnya Al-Quran dari tangan Tari. "Oh, astaghfirullaah...bukan ayat 190, Dik, tapi...ayat...90. Maaf, ya. Salah informasi", kata Dwi. Dipandangnya wajah Tari. Sejenak ia diam, lalu tertawa. "Untung belum terlanjur hafal", katanya. Tari pun ikut tertawa.

-Selesai-

FF ini diikusertakan dalam Lomba Menulis "Cinta Al-Quran"

Newer Posts
Older Posts

LET’S BE FRIENDS

Labels

10% fiksi 100% fiksi 25% fiksi 50% fiksi 75% fiksi 90% fiksi FFRabu

recent posts

Blog Archive

  • Mei (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • Agustus (2)
  • Juli (1)
  • Mei (4)
  • April (1)
  • Januari (2)
  • Desember (4)
  • November (1)
  • Oktober (1)
  • September (1)
  • Agustus (2)
  • Juli (2)
  • Juni (3)
  • Mei (2)

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates