hari hari fiksi

Sekian % Fiksi

Diberdayakan oleh Blogger.

"Peshawar! Peshawar!" Kata-kata itu terngiang di benak Niar. Langkahnya gontai menyusuri deretan mayat bergelimpangan. Darah tubuh-tubuh kecil itu memerahkan galonan air di kolam.

"Peshawar! Peshawar!" Niar menyeret langkahnya yang sesekali menumbuk mayat-mayat mungil, murid-murid Taman Kanak-kanak tempat ia mengajar. Matanya nanar menatap sunyi yang mencekam. Tengah hari yang anyir. Siang bolong yang asing kala tak terdengar adzan duhur di udara. Hanya desing peluru tiga jam lalu yang tertinggal di relung-relung rumah siput telinga Niar. Desingan bercampur teriakan pilu nan dalam. Suara-suara perpisahan raga dengan ruh. Suara-suara perjumpaan hamba Tuhan dengan malaikat-Nya.

"Peshawar! Peshawar!" Sengatan matahari membakarkan kata-kata itu di wajah Niar yang berjam-jam berpura-pura terbujur kaku di bawahnya. Kata-kata itu pula yang memaksanya menahan paru-parunya agar tak menarik dan membuang napas berdetik-detik.

Air matanya menitik setelah tiga jam. Jilbabnya basah oleh air, gamisnya basah oleh darah. Oleng tubuhnya berjalan, ia pun merangkak melalui belasan tubuh-tubuh syahid para muridnya. Syahidin yang hari ini seharusnya tengah bergembira di kolam renang. Syahidin yang seharusnya sebentar lagi hendak menikmati libur panjang akhir semester. Syahidin yang tak satu pun tersisa menemaninya sekarang. Air mata Niar tertitik lagi. Merah. Anyir. Merah. Anyir. Merah. Anyir. Gelap.

"Peshawar! Peshawar!" Kata-kata itu melaju kencang dari bibir Niar. "Ini bukan Peshawar. Ini bangsal kelas tiga." Suara lembut seseorang membelai Niar.

-Selesai-

FF ini terilhami oleh insiden penembakan berdarah di sebuah sekolah di Peshawar, Pakistan.

Gambar diambil dari mobile.seruu.com

Gambar dari cerbii.devianart.com

Lengkingan gitar elektrik membahana menutup lagu. Teriakan dan tepukan diselingi suitan seakan ingin meruntuhkan ruangan. Aku meletakkan jari telunjuk dan ibu jariku sedikit masuk ke mulutku. "Suiiiit! Suiiiit! Suiiiit!"

Dadaku bergemuruh kencang. Lebih kencang dari yang tadi. Darahku mengalir makin cepat. Napasku memburu. Keringat bercucuran. "Huh...hah...huh...hah..." Kakiku tak berhenti melonjak-lonjak. Tiba-tiba tanpa sadar kulepas pakaianku dan kuputar-putar di udara untuk sesaat sebelum kulemparkan.

"Huaaaaghghghgh.....!!!" Teriakan membahana dari sang rocker membakar nadiku. Membakar nadi-nadi kami, para penonton yang serempak menjawab teriakan itu dengan lengkingan serupa, bagai rombongan monster di malam gelap. "Huaaaaghghghgh...!!!"

Bau alkohol menyeruak di antara kami. Dentuman drum dan lengkingan gitar elektrik kembali terdengar. Dadaku berdegup makin kencang. Darahku mengalir makin cepat. Makin cepat dan makin cepat.

Musik telah meriangkan penghuni dadaku yang menjadikan aliran darah tubuhku sebagai jalan tol. Melumpuhkan nalarku dan menumpulkan logika bahkan mengendalikan gerakku. Aku menyeringai serupa serigala lapar di malam hari yang menemukan mangsanya. Aku menerkam. Mengoyak diriku. Memenggal derajat kemanusiaanku dan menundukkannya pada iblis.

Mobil bercat merah itu bergerak menjauh. Aldi mencengkeram lengan Tomo yang berdiri di muka pintu kuat-kuat. 

"Maaak...!" tangis bocah berumur 2 tahun itu kencang. 

Tomo makin mengencangkan gendongannya. 

"Mamakmu sudah pindah jauh. Suatu hari kau akan menyusulnya," parau suara Tomo. 

Tangis Aldi makin pecah. Bu Puji menyeka air matanya. "Istrimu akan langsung masuk ruang isolasi. Selanjutnya Dinas Kesehatan yang menanganinya." 

Tomo menganggukkan kepalanya kepada perempuan paruh baya berbadan subur itu. 

"Oya, Pak Tomo. Saran saya, sebaiknya kau jangan menikah lagi. Kasihan istri dan anak-anakmu nanti." 

Tomo tertunduk. "Tapi kalau dengan sesama penderita AIDS boleh, kan, Bu?"



"Percaya sama saya, deh, Dok. Istri Dokter pasti jadi kelihatan lebih cantik kalau pakai ini."

Dokter Addin tertawa kecil. "Iya, saya tahu." Rani tersenyum senang. 

"Jadi, istri Pak Dokter mau mencobanya?" Dokter Addin mengangguk. "Boleh. Tapi sekarang kamu ikut Bu Ani ke sana dulu, ya." kata Dokter Addin sambil menunjuk seorang perempuan berseragam putih di teras sebuah gedung. 

Rani beranjak dari bangku taman. "Terima kasih, Dok. Akhirnya ada yang percaya juga." Wajah penuh bekas noda kehitaman itu tersenyum. 

Dokter Addin ikut tersenyum. 

Pedih. 

Ini tahun kedua ia merawat istrinya yang tergoncang jiwanya akibat salah kosmetik.



Newer Posts
Older Posts

LET’S BE FRIENDS

Labels

10% fiksi 100% fiksi 25% fiksi 50% fiksi 75% fiksi 90% fiksi FFRabu

recent posts

Blog Archive

  • Mei (2)
  • November (2)
  • September (2)
  • Agustus (2)
  • Juli (1)
  • Mei (4)
  • April (1)
  • Januari (2)
  • Desember (4)
  • November (1)
  • Oktober (1)
  • September (1)
  • Agustus (2)
  • Juli (2)
  • Juni (3)
  • Mei (2)

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates