25

by - Agustus 09, 2014

"Nilaiku di bulan Ramadan cuma 25", kata Ifa tiba-tiba. Aku menoleh ke arahnya. "Dari mana kamu tahu?", tanyaku. "Bukankah hanya Alloh yang tahu nilai ibadah puasa kita?", lanjutku.

Adikku yang beranjak remaja itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya ke arahku sambil tersenyum penuh misteri. "Tahu, dong, Kaaak...", katanya yang membuatku jadi penasaran.

"Cara tahunya bagaimana?". Kuletakkan buku pelajaran kimiaku di meja lalu kuhampiri Ifa. Sepertinya asyik mendiskusikan sesuatu dengan Ifa di tengah keruwetan pikiranku begitu naik ke kelas 12 ini. Ifa selalu punya teori yang menakjubkan. Khas anak-anak, sangat murni dan jujur, tapi seringkali benar. Tidak rugi punya adik yang berselisih usia lima tahun denganku ini.

"Begini. Selama Ramadan aku ikut tarawih di masjid delapan rokaat dan witir tiga rokaat. Nah, ternyata, setelah Ramadan berlalu ternyata aku hanya bisa mengerjakan dua rokaat saja tiap solat tahajud dan tiga rokaat solat witir. Jadi dua per delapan sama dengan seperempat alias 25%, yang artinya nilaiku 25 dari 100".

"Oooh...begitu ya, Fa. Betul juga teorimu". Ifa yang solihah dan cerdas. Perhitungan seperti ini bisa menjadi gambaran, apakah ibadah kita di bulan Ramadan membekas atau tidak.

"Nah, kalau nilai Kakak berapa?", tanya Ifa. "Mmm...berapa, ya?", jawabku pura-pura bodoh. Padahal sudah jelas: nilaiku nol.

-Selesai-

You May Also Like

2 komentar

  1. menarik ceritanya, saya jg bikin cerita fiksi tapi bertema action ttg mobil kertas, kalo penasaran silahkan kunjungi blogku

    BalasHapus