Titipan

by - November 12, 2014

Pucuk cemara sudah merunduk menyongsong malam. Yang menunggu penjemputan sudah meninggalkan pekarangan dengan puji syukur setinggi langit. Tinggal aku sendiri yang masih mencangkung di pojok sambil terus melotot ke pintu pagar, berharap kalau-kalau ada yang mendekat. Yang ada cuma angin senja, menerbangkan bau rerumputan bercampur debu, memperberat kecemasanku.

"Mas Koyo," orang yang sebentar-sebentar melemparkan pandang ke arahku dari pagar kawat berduri, tiba-tiba menghampiri, merapat, membuatku tegak. "Saya Kiswoyo, masih ada hubungan darah dengan Mbak Uci," katanya menyebutkan nama akrab istriku. Aku merunduk dibuat ucapannya itu. Istri! Bisikku dalam hati. Ada duka di balik kata itu. "Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang. Kalau Mas tak keberatan, ikut saya saja. Nginap dulu di rumah saya. Tak jauh dari sini," sambungnya.

Aku mengiyakan ajakan Kiswoyo meski aku tak kenal betul siapa dirinya. Tapi jika tak ikut Kiswoyo, mau ke mana aku?

Adzan maghrib menggema. Masjid-masjid menggeliat. Kulirik Kiswoyo di sebelahku yang sedang menyetir mobil pick-up tua ini. "Masih jauh, Mas?" tanyaku. "Sebentar lagi," jawab Kiswoyo. Mobil yang kami tunggangi bergoncang-goncang keras. Jalanan ini penuh lubang rupanya. "Kita sholat dulu saja, Mas," pintaku. Kiswoyo menggeleng. "Sudah hampir sampai."

Dua puluh menit kemudian kami baru berhenti di depan rumah berpagar. Bau asap knalpot bercampur debu jalanan menyeruak. Aku membuka pintu mobil lalu turun. Kucangklong satu-satunya harta yang kumiliki: ransel tua milik Uci. Selama sepuluh tahun di penjara, hanya ransel inilah yang menemaniku. Uci memberikannya saat menjengukku untuk pertama kali dan terakhir kalinya. Mungkin ia malu punya suami pembunuh.

Kiswoyo membuka pagar. Aku masih berdiri mematung di samping mobil tatkala pintu rumah terbuka dan dua anak kecil keluar dari sana. Kiswoyo melambaikan tangan mengajakku masuk. Aku mendekat.

"Sini, Mas. Ini Tari dan ini Dimas." Aku tersenyum kepada dua anak itu. Usia mereka kira-kira 7 dan 5 tahun. Wajah mereka tak mirip, tapi keduanya punya sorot mata yang tajam, alis yang tebal membingkai dan hidung mancung.

"Anaknya cantik dan ganteng, Mas" aku berbasa-basi. Kiswoyo tertawa. "Bukan anakku, Mas. Tapi anaknya Mbak Uci." Tubuhku kaku. "Yang besar lahir di Malaysia, yang kecil lahir di sini."

Tubuhku lemas. Uci? "Mbak Uci punya kontrak baru. Dua hari lagi berangkat ke Taiwan. Tapi nggak perlu khawatir, anak-anak ini sudah biasa ikut saya."

-Selesai-

MFF #70

You May Also Like

8 komentar

  1. saya suka tema begini ini, gak sadis...
    salam kenal mas..

    BalasHapus
  2. Pak Arif: terima kasih Pak. saya mmg gak suka yg berdarah2, kyknya kok nggak mbakat nulis yg gituan. hehe... salam kenal kembali. btw, saya emak2 Pak.

    BalasHapus
  3. untung yang ini nggak ada darahnya :D

    BalasHapus
  4. naah, ini ga berdarah-darah hihi

    BalasHapus
  5. mas Jampang: iya mas. puasa darah. hehe

    mb Fatika: nggak doyan makan kl berdarah2 mbak.

    BalasHapus
  6. ada sedikit inkonsistensi antara potongan paragraf wajib dengan kisah selanjutnya yaitu di bagian : "Sudah gelap. Kelihatannya dia tak bakalan datang dst. dengan bagian akhir cerita. sepertinya Kiswoyo sudah tahu bahwa tokoh Uci memang tak akan datang.

    berikutnya adalah tujuan cerita yang tak begitu jelas. apakah Kiswoyo berniat menampung Koyo? atau justru ingin menyerahkan dua anak Uci?

    :)

    BalasHapus